Antara Lailatul Quddus dan Lailatul Qadar
Paralelisasi 'Isa Almasih dan Muhammad
Bila pribadi Muhammad memiliki peranan yang sejajar dengan Maria Bunda Yesus dalam misteri pewahyuan, ia pun memiliki banyak kesamaan dengan 'Isa Almasih dalam segi kenabian. Kurangnya ditekankan segi kenabian Yesus dalam teologia Kristen, dan hanya menekankan segi KeilahianNya dalam dialog dengan Islam, dialog kedua pihak sering terputus karena ketidak-seimbangan doktrin dalam gereja Kristen sendiri, seperti dikritik MacDonald dalam Jurnal Seedbed:
Orang Kristen pada umumnya mengabaikan doktrin Alkitab tentang kenabian Kristus. Beberapa tradisi memang menegaskan pemenuhan Kristus dari ketiga tema Perjanjian Lama tentang Nabi, Imam dan Raja. Namun, sementara peran imamat dan rajanya telah diperlakukan secara ekstensif, perhatian yang relatif kecil tampaknya telah diberikan kepada peran kenabian ini, membuat kita secara teologis tidak siap untuk berurusan dengan ajaran Muslim tentang para nabi. Dihadapkan dengan klaim Muhammad akan kenabian, orang Kristen cenderung mengabaikan relevansi pengajaran alkitabiah tentang kenabian Kristus dan telah menekankan bukan KeTuhannya. Artikel ini mencoba untuk memperbaiki keseimbangan ....
Qur'an menyatakan bahwa 'Isa sebagai salah seorang dari serangkaian para nabi yang diutus Allah, berawal dari Adam dan berakhir dalam diri Muhammad yang menerima mujizat Al-Qur'an. Tidak mengherankan bila Qur'an mengangkat Muhammad dan 'Isa sebagai dua pribadi yang memiliki kesamaan, tetapi seberapa besar daya tarik kesamaan mereka pada umumnya lolos dari perhatian umum.
Seperti halnya Muhammad, 'Isa dalam versi Qur'an disebut sebagi nabi, rasul dan abdi Allah. Seperti dirinya sendiri, 'Isa diutus sebagai rahmatan lil 'alamin(rahmat bagi seluruh dunia). Ia menerima sebuah wahyu yang disebut Injil sama seperti Muhammad menerima Qur'an. Ajaran 'Isa dan ajaran Injil dikatakan sebagai hikmat, jalan yang lurus, petunjuk, terang dan peringatan -- istilah-istilah yang diberikan juga bagi Qur'an. 'Isa melepaskan beberapa larangan yang dikenakan kepada umat Yahudi (Ali 'Imraan (3): 50) seperti dilakukan Muhammad terhadap beberapa hukum pengharaman makanan yang dikenakan bagi umat Yahudi karena ketidaktaatan dan karenanya dibebaskan untuk umat Islam (Al An'aam (6): 146f). Tetapi Injil, seperti halnya Qur'an, dikatakan sebagai penegasan atau membenarkan (mushadiqaan) Kitab-Kitab Suci sebelumnya (Ali 'Imraan (3): 3). Tekanan ajarannya juga identik dengan Qur'an, yaitu ajakan untuk beribadah dan menyembah Allah. 'Isa dikatakan pernah mengancam para penyembah berhala dengan siksaan api neraka (Al Maa'idah (5): 72) dan menjanjikan surga kepada mereka yang mati sahid di jalan Allah (At Taubah (9): 111) -- ancaman dan janji yang sama yang biasa dilakukan Muhammad dalam Qur'an. Selanjutnya, 'Isa dikatakan melakukan juga salat dan zakat (Maryam (19): 31), dua kewajiban agamawi yang pokok dalam rukun Islam. Dalam memandang semua kesamaan ini, tidak mengherankan bila Qur'an juga menyatakan bahwa wahyu yang diterima oleh murid-muridNya mendorong mereka untuk percaya kepada Allah dan rasulNya dan mereka menyatakan diri sebagai muslimin(artinya: orang-orang yang berserah diri kepada Allah) dalam Al Maa'idah (5): 111dan mereka ingin dimasukkan dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (ma'asy syahidiin) dalam Ali 'Imraan (3): 53.
Dari semua penjelasan di atas, jelas bahwa Qur'an berusaha menggambarkan bahwa Muhammad hanya melakukan apa yang sebelumnya pernah dilakukan oleh 'Isa Almasih, sebagaimana dinyatakan dalam Ash Shaff (61): 14 :
Yaa ayyuhal ladzina aamanu kuunuu ansharallahi ka maa qaala 'Isabnu Maryama lil Hawariyuuna man anshaari ilallahi qaalal hawariyyuna nahnu ansharullah fa aamanat thaa-ifatum min banii Israa-iila wa kafarat thaa-ifatun fa ayyadnal ladziina aamanuu 'alaa 'aduwwihim fa ashbahuu zhaahirin.
(Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah, sebagaimana 'Isa putra Maryam berkata kepada para pengikutnya yang setia, "Siapa yang akan menjadi penolongku ke jalan Allah ?" Para pengikutnya yang setia itu berkata, "Kamilah penolong (agama) Allah." Maka berimanlah segolongan Bani Israil dan kufur segolongan yang lain, Maka kami bentu orang-orang yang beriman menghadapi musuh mereka, maka jadilah mereka orang-orang yang menang)
Sekalipun ayat ini sangat singkat tetapi maksudnya cukup jelas. Orang-orang beriman (mu'miniin) diajak berperang di pihak Muhammad berdasarkan alasan bahwa dengan melakukan jihad itu mereka berbuat yang sama sebagaimana pernah dilakukan murid-murid Yesus dan seperti halnya para muridNya, mereka akan dijanjikan kemenangan. Kata 'para penolong" (anshar) memang penuh arti karena merupakan gelar resmi yang disandang penduduk kota Madinah yang berjuang membela Muhammad (At Taubah (9): 100, 107). Para pengikut Almasih pun disebut Nashara (dari akar kata yang sama : anshar -- menolong) dalam Qur'an.
Dari banyak kesamaan di atas antara 'Isa Almasih dan Muhammad, makin jelas bagi kita bahwa dalam segi kenabian, Muhammad nampaknya memakai prototip kenabian 'Isa Almasih untuk melegitimasi misi kenabiannya sendiri. Tidak mengherankan kita bila Qur'an begitu banyak merujuk pada pribadi dan misi 'Isa Almasih yang menurut Annis Shoroshdisebut dalam sembilan puluh ayat sementara untuk Muhammad hanya disebut duapuluh lima kali saja.[26] Motif apakah yang tercermin dalam pernyataan yang dianggap berasal dari Muhammad dalam Hadits bahwa di antara semua nabi, 'Isa Almasih-lah yang paling dekat dengan dirinya ?
Yang perlu dipikirkan lebih lanjut dan perlu didiskusikan dalam dialog Kristen-Islam adalah sifat dan tujuan dari narasi-narasi yang digunakan oleh Qur'an. Apakah narasi-narasi yang dipakai Qur'an selalu bersifat sejarah ataukah hanya bersifat sastra dalam meriwayatkan tokoh-tokoh yang diangkat ke permukaan sebagai bahan pelajaran? Apakah tokoh-tokoh nabi dalam Qur'an semuanya bersifat historis ? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini mungkin menjadi kunci atas masalah-masalah yang sering jadi tema-tema dalam polemik antara Kristen dan Islam.
MacDonald, "The Prophethood of Christ," Seedbed 1911 dalam J. dudley Woodbery (editor), Muslims and Christians on the emmaus Road(Monrovia: MARC Publications, 1989), h.109-110.
Neal Robinson, op.cit., h. 36-37.
Anis Shorosh, Islam Revealed, h.
Antara Lailatul Quddus
dan Lailatul Qadar
umat gereja Orthodoks Syria berpuasa 40 hari di masa menjelang peringatan 'Idul Milad (Hari Natal) yang diperingati tiap tanggal 6 Januari. Umat Kristen di seluruh dunia mengharapkan berkat istimewa dari Allah pada peringatan Lailatul Quddus (Malam Kudus), yaitu malam yang penuh kemuliaan dan kedamaian dengan bertaburan bintang seperti dinyanyikan oleh para malaikat, "Kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepadaNya." (Lukas 2:14). Saat itulah Kalimatullah (Firman Allah) itu, menurut Kanun Al-Iman, dikatakan "Alladzi min ajlina nahnu basyar wa min ajlina kholashina nazala minas sama'i" (yang oleh karena kita menjadi manusia dan demi keselamatan kita turun dari surga) (Yohanes 1: 1, 14).
Bandingkanlah peristiwa Miladiyah Sayidina 'Isa Almasih itu dengan peristiwa Lailatul Qadr dengan redaksi Surat Al-Qadr(Kemuliaan) berikut:
Innaa anzalnaahu fii lailatil qadr. Wa maa adraaka maa lailatul qadr ? Lailatul qadri khairum min alfi syahr. Tanazzalul malaa-ikatu war ruuhu fihaa bi idzni rabbihim min kulli amr. Sallamun hiya hattaa mathla'il fajr.
(Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada lailatul qadar. Dan tahukah engkau apakah lailatul qadar itu ? Lailatul qadar itu lebih baik dari seribu bulan. Malaikat dan Ruh (Jibril( turun padanya dengan izin Tuhannya membawa segala perintah. Sejahteralah malam itu sampai terbit fajar).
Nampak dari narasi kedua kisah Lailatul Quddus dan Lailatul Qadr ada banyak kesamaan, di mana posisi Yesus Kristus dan Al-Qur'an dipahami kedua agama sebagai Sabda Ilahi. Banyak terminologi yang satu sama lain saling berdekatan, misalnya penggunaan istilah 'nuzul' (turun) dalam Kanun Al-Iman (Shahadat Kristen) yang menggambarkan Firman Allah itu menjelma menjadi manusia (Al-Kalimat al-Mutajasad). Firman itu telah "nazala minas sama'i wa tahhasada bir-Ruhil Quddusi wa mim Maryam al-Adzra' wa shara insanan" (nuzul dari surga dan menjelma oleh kuasa Roh Kudus (Hayat Allah). Perumusan itu dapat dibandingkan dengan pengertian mereka tentang Nuzulul Qur'an (turunnya Al-Qur'an).
Suasana yang menyertai turunnya wahyu itu dalam pandangan kedua iman : antara nuzulul Qur'an itu terjadi pada malam penuh kemuliaan (Lailatul Qadr), yang melebihi seribu bulan dan nuzulul Kalimatu al-mutajjasat (turunnya Firman menjadi manusia) pada Malam Kudus (Lailatul Quddus), satu malam dengan taburan ribuan bintang disertai kehadiran malaikat-malaikat. Walhasil, dalam iman Kristiani Firman itu nuzul menjadi manusia Yesus Kristus sedangkan dalam Islam Firman itu nuzul menjadi Al-Qur'an. Baik Maria maupun Muhammad sama-sama dipandang sebagai penerima wahyu sehingga layaklah bila keduanya diberi salawat, sebagaimana dijelaskan di atas.
Dengan nuzulnya Kalimatullah menjadi manusia, maka Sayidina 'Isa Almasih sekaligus memiliki sekaligus sifat keilahian yang sempurna dan kemanusiaan yang sempurna, yang dalam bahasa Konsili Efesus (431) sebagai "uqnuman wahidan, min uqnumain, wa thabi'atan wahidan murakkabat min thabi'atain" (artinya: satu pribadi yang berasal dari dua pribadi, dan satu tabiat ganda yang berasal dari dua tabiat) Pengertian demikian sejalan dengan rumusan Mar Kyrillos, "an Sayid Almasih kamala bin an-Nasut wa kamala bi al-Lahut, wa lahu thabi'atu wahidah min thabi'atain, bi dunu akhtalatha wa la amtazaj, wa la astahalat" (artinya: Junjungan kita Almasih adalah benar-nemar insani dan benar-benar Ilahi, dan Ia mempunyai satu tabiat yang beradal dari dua tabiat yang dipersatukan, secara demikian rupa hingga tanpa bercampur dan tanpa berubah).
Tabiat ganda Almasih sebagai yang Ilahi sekaligus Insani ini bisa diparalelkan dengan pandangan kaum Asy'ariah bahwa Qur'an adalah Kalimatullah dan bersifat kekal (qadim) karena berfirman adalah termasuk sifat Allah yang kekal. Dalam arti huruf, ayat dan surat yang ditulis atau dibaca, Qur'an bersifat baru atau diciptakan (mahluq) dan bukan Sabda Tuhan. Jadi, Qur'an memiliki dua sifat sekaligus, yaitu bersifat Ilahi sebagai Kalimatullah dan bersifat mahluq sebagai buku.
Pandangan Ilmu Kalam kaum Asy'ariah ini merupakan penyelesaian dari dua ekstrim pandangan. Kubu tradisionalis atau Ahlu Sunnah wal Jama'ah berpendapat Qur'an itu Ilahi dan tidak diciptakan karena berfirman adalah sifat Allah yang kekal, sedangkan kubu rasionalis Mu'tazilah beranggapan bahwa berfirman itu adalahperbuatan Allah dan bukan sifatNya, sehingga Qur'an adalah hasil dari perbuatan Tuhan atau diciptakan (mahluq).
Bambang Noorsena, Al-Masih Juruselamatku, Muslim Sahabatku(Surabaya: Yayasan Kanisah Orthodoks Syria, 1998), h. 12-13. Makalah untuk Orasi Ilmiah disampaikan dalam rangka pengukuhan pengurus Yayasan Kanisah Orthodoks Syria Cabang Surabaya di Heritage Club Surabaya.
Mar Ighnatius Ya'qub III, Al-Kaniisat As-Suryaaniyat Al-Anthakiiyat Al-Urtsudzuksiayat (Damascus:Alif Ba' Al-Adib, 1980), h.. 16
Ibid., h. 20.
Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-Aliran, Sejarah dan Analisa Perbandingan (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), h. 143-144.
Paralelisasi dalam Ibadah
Kristen Orthodoks Syria memiliki banyak meeting point dengan Islam dalam segi ibadah. Umat Islam diwajibkan melakukan Rukun Islam, yaitu kewajiban-kewajiban ritual seperti membaca dua kalimat shahadat, melakukan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan berhajji ke Mekkah.
Dua kalimat shahadat Islam yang wajib diucapkan adalah : Laa ilaha illallah wa Muhammadar Rasulullah. Dua pengakuan inilah yang didengungkan tiap kali kita mendengar adzan. Pengkalimatan Laa ilaha illallah mengingatkan kita pada redaksional 1 Korintus 8:4 dari bahasa Arami (Peshita) : Lait Allaha ella d'Allahayang dalam bahasa Arab berbunyi: Laa ilaha illallahul ahad.
Ibadah shalat tujuh waktu dalam gereja Orthodoks Syria merupakan ibadah harian non-sakramental sesuai dengan teladan dari nabi Daud, Al-Malikut Thohir(Mazmur 119: 164).[31] Identitas shalat ini disebut dalam Qur'an ( Ali 'Imraan (3): 113), "Laisu sawaa'am min ahlil kitaabi ummatun qaaimatuy yatluuna aayatillaahi aanaa-al laili wa hum yasjuduun (Mereka itu tidak sama, di antara Ahli Kitab itu ada segolongan orang yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah waktu tengah malam sedang mereka bersujud).
Ayat ini secara tradisional sering diartikan orang-orang Kristen atau Yahudi yang masuk Islam. Tetapi sujud dan membaca (baca: tilawah -- "mengaji") di waktu tengah malam adalah khas identitas gereja Arab (Timur Tengah), karena berbarengan dengan saat mereka melakukan shalat sa'atul lail (shalat di tengah malam), yang dalam Islam tidak lazim karena hanya disunnahkan (tidak diwajibkan).
Ritualitas shalat Yahudi biasanya hanya tiga kali: erev (petang), wa boker (pagi) wetsahorayim (dan tengah hari) sesuai dengan Mazmur 55: 18-19, tetapi tidak ada ritual di waktu tengah malam.[32] Ritual shalat sa'atu lalil dipahami umat Kristen Arab sebagai wujud dari kesiapan hati mereka menyongsong kedatangan 'Isa Almasih yang kedua (1 Tesalonika 5:1-2), dengan menghadap ke Timur sebagai arah kiblat sesuai dengan Matius 24:27. Karena itu, dikatakan dalam Matius 26:41, "Shalu likai laa tadkhulu fii tajribah "(Berjaga-jagalah dan berdoalah supaya kamu jangan jatuh dalam pencobaan).
Ibadah puasa (shaum) Islam sebenarnya hanya merupakan suatu kesinambungan dari ritual ibadah umat sebelumnya, yaitu Yahudi dan Kristen, seperti dikatakan dalam Surat Al-Baqarah (2):183, "Yaa ayyuhal ladziina 'amanu, kutiba 'alaikumush shiyam kamaa kutib 'alal laldziina min qablikum lia'alakum tataquun"(Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atasmu berpuasa sama seperti diwajibkan kepada orang-orang yang sebelum kamu supaya kamu bertaqwa).
Selain puasa 40 hari menjelang Idul Milad, umat Orthodoks Syria juga berpuasa 49 hari menjelang peringatan Idul Faskhah(Paskah) dan puasa 50 hari lagi setelah Hari Pentakosta. Masih tiga hari puasa Niniwe yang dimulai dari hari Senin, seminggu sebelum peringatan 'Idul Faskhahperingatan Paskah dan puasa 15 hari di bulan Agustus yang disebut Shaum Maryam Al-Adzra'i (Puasa Maria Sang Perawan). Puasa sepanjang tahun dilakukan pula setiap hari Rabu dan Jumat, sesuai dengan ajaran Didache. Kemudian, dilakukan puasa tiga hari setiap ada hari-hari suci untuk mengenang para martir. Jadi bila dijumlahkan harinya, puasa umat Orthodoks Syria lebih dari setengah tahun !
Tetapi, gereja menghayati puasa itu bukan dalam arti syari'ah sebagaimana dilakukan umat Islam, tetapi sebagai ucapan syukur dan karena kasih kepada Allah (habibah) atas karya keselamatan yang dilakukan oleh Kristus bagi seluruh manusia. Mengapa puasa Kristen tidak bermakna syari'ah ? Saya katakan kepada putra-putri Nahdlatul 'Ulama di Surabaya bahwa umat Kristen memiliki Juruselamat untuk menebus dan membayar lunas hutang dosa-dosa mereka (Kolose 2: 13-14), tetapi umat Islam harus menebus dosa mereka sendiri antara lain dengan ibadah karena dosa dalam Islam adalah hutang yang harus mereka bayar sendiri.
Sedangkan praktek ibadah hajji dalam Islam paralel dengan ibadah ziarah ke Yerusalem, mengikuti tradisi Yahudi yang melakukan hagg (Arab: hajj) atau 'aliyah(naik) -- artinya naik ke Bukit Moriah, Yerusalem -- tiga kali setahun menurut Imamat 23: 33-34 dan Mazmur 122, yang kemudian ditafsirkan secara Kristen sebagai Penapak-tilasan Jalan Salib Kristusatau dalam bahasa Arab disebut Thariqul "alalam. Sebab, seluruh hukum Taurat telah digenapi dalam diri Sayidina 'Isa Almasih, Mukhalishul ‘Alam , seperti dinubuatkan sendiri oleh Almasih dalam Yohanse 4: 21,
Kata Yesus kepadanya, "Percayalah kepadaKu, hai perempuan, saatnya akan tiba bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem.
sehingga berhajji ke Yerusalem tidak lagi merupakan syari'ah tetapi dimaknai sebagai sikap kesalehan karena kasih (habibah) kepada Allah.
Satu-satunya sumber informasi yang sangat komprehensif dalam bahasa Indonesia saat ini dapat mengacu pada: Bambang Noorsena, Shalat Tujuh Waktu dalam Kristen Orthodoks Syria (Jakarta: Studia Syriaca Orthodoxia, 1999).
Rabbi Hayim Halevy Donin, To Be a Jew: A Guide to Jewish Observance in Contemporary Life (USA: Basic Books, 1972), h. 160.
Aziz S. Atiya, History of Eastern Christianity (Notre Dame, Indiana: University of Notre Dame Press, tt), h. 230.
Komentar
Posting Komentar